Suatu hari di tahun 2030, tim futsal Airlangga meloloskan beberapa siswanya ke dalam timnas Indonesia di ajang piala dunia futsal. Para atlet berlatih keras untuk menghadapi event tersebut. Tidak lupa setiap berangkat latihan selalu berpamitan meminta doa restu orang tua. Tidak lupa biaya dikucurkan bahkan dari kantong pribadi untuk menunjang putra-putri anak bangsa dalam berlaga. Lalu tibalah saat drawing penentuan grup sebelum kejuaraan dimulai. Hasilnya, Indonesia berada satu grup dengan Israel yang lolos dari zona Eropa. Desakan kembali bergemuruh ntuk tidak berkhianat kepada konstitusi. Hal tersebut diartikan apabila bertanding melawan Israel, sama saja mengakui negara itu ada. Desakan tersebut digaungkan oleh orang-orang partai politik, lalu organisasi massa berbasis keagamaan, dan influencer-influencer. Sampai akhirnya karena tidak ada jaminan keamanan, maka timnas Indonesia didiskualifikasi dan tidak jadi bermain dalam ajang tersebut.
Banyak yang bersorak, karena kita tetap teguh pendirian pada konstitusi, dan tidak tunduk pada penjajahan. Di sisi lain, ada anak muda bangsa, yang sedang ditempa, membela bangsanya dalam ajang dunia, menggunakan dana pajak rakyat untuk fasilitasnya, ditambah dengan ikhlas menguras kocek pribadi demi kepentingan negara harus merelakan impiannya gagal terwujud. Akhirnya orang tua pemain futsal tersebut berkata, "sudah nak, ga ada harapan emang kalau cita-citamu maen bola di negeri ini. Paling main level lokal doang, terus habis pensiun mau ngapain? Tiap kita tembus Internasional, selalu ada negara penjajah yang juga ikutan kok. Pindah bidang aja kamu. Belajar di jurusanmu aja."
Pada beberapa waktu kemudian, salah seorang pemain futsal tersebut akhirnya belajar rajin sehingga mewakili Indonesia dalam ajang olimpiade teknik komputer dan jaringan internasional. Dalam ajang tersebut, akhirnya bertemu lagi dengan kontingen dari negara Israel. Desakan untuk mundur demi menegakkan konstitusi kembali datang. Dan akhirnya, keikutsertaan si siswa kembali dibatalkan. Nasib sial kembali menimpa siswa tersebut. Hingga akhirnya kejadian tersebut menimpa seluruh potensi anak negeri yang dibatasi oleh kesalahpengertian konstitusi dari para oknum-oknum di negeri ini. Mereka yang merasa paling konstitusi, mereka yang merasa paling membela negeri ini, dan merasa paling ingin mengusir penjajahan dan menegakkan hukum agama. Mereka juga lupa bahwa di sekitarnya banyak yang masih "terjajah" secara ekonomi dan tidak mendapat perhatian maupun bantuan. Atau bahkan mereka lupa bahwa negeri ini juga menjalin hubungan dengam negara-negara yang kelihatannya tidak menjajah secara langsung, namun berada di balik layar dalam supply persenjataan dan lain-lain.
Adakah harapan bagi anak bangsa untuk berprestasi di bidang Internasional jika orang-orang si paling konstitusi tersebut konsisten dengan pernyataannya tidak mau kalau ada Israel, titik.??? Mari kita diskusikan hal ini lebih lanjut. Jika sempat.
Catatan di 30 Maret 2023 - AKS
Komentar
Posting Komentar