Akhir-akhir ini dunia pendidikan di negeri ini akan diramaikan dengan berbagai aktifitas apresiasi atau penghargaan yang diberikan kepada guru dan sekolah. Berbagai institusi mulai dari Dinas Pendidikan Provinsi, Cabang Dinas Pendidikan Provinsi, Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten bahkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berinisiatif menggelar acara bertajuk apresiasi untuk guru berprestasi, guru inovatif, sekolah berprestasi, dan sejenisnya. Puncaknya adalah jambore Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) hebat yang bakal dilaksanakan pada perayaan bersamaan dengan hari guru nasional pada November nanti. Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan semangat agar guru-guru dan tenaga kependidikan di seluruh Indonesia untuk memacu diri agar terus berinovasi, terutama dalam kegiatan belajar dan mengajar. Kegiatan ini juga menjadi langkah pemerintah melalui kementerian maupun dinas pendidikan daerah untuk memberikan penghargaan kepada guru dan tenaga kependidikan yang merupakan ujung tombak utama dalam keberhasilan pendidikan.
Dari berbagai kegiatan yang dilakukan tersebut, kesannya memang bagus. Ketika guru, tenaga kependidikan, maupun sekolah memang layak mendapatkan penghargaan, maka biasanya mereka akan dipanggil ke sebuah area gedung atau aula hotel. Di sana nanti ada pemanggilan menurut masing-masing nominasi, hingga pemberian hadiah berupa uang pembinaan, plakat, dan tentu tidak lupa kegiatan khas seremonial. Sebelum mencapai langkah tersebut, biasanya pihak dinas maupun kementerian memberikan sosialisasi mengenai kegiatan apresiasi guru melalui media sosial maupun saluran ke grup Whats App kumpulan kepala sekolah, musyawarah guru, dan sejenisnya. Di sana tertera Petunjuk Teknis (Juknis) untuk bisa mengikuti kegiatan apresiasi atau penghargaan sebagai guru berprestasi tersebut. Umumnya, calon peserta harus mengisi formulir dan mempersiapkan beberapa berkas umum seperti tahun mengajar, bidang yang diajarkan, sampai data diri. Lalu syarat khusus untuk bisa mengikuti apresiasi guru adalah mengumpulkan modul ajar, cerita praktik baik, video praktik baik mengajar, praktik kepemimpinan kepala sekolah, dan sebagainya. Semuanya diberikan ketentuan tentang format yang harus diikuti, sampai batas waktu yang telah ditentukan. Dari situ sebenarnya masih logis bagaimana format lomba umum diterapkan untuk kegiatan apresiasi guru berprestasi oleh dinas dan kementerian.
Lalu, terdapat pertanyaan di benak saya, Apakah untuk menjadi guru berprestasi, berdedikasi, inovatif harus melalui serangkaian seleksi menggunakan data administratif atau pemberkasan sebanyak itu? Lalu bagaimana dengan guru yang sangat berdedikasi di suatu daerah yang menghabiskan hari-harinya untuk murid? Mereka yang di masa tidak mengajar hanya memperhatikan murid-muridnya, memikirkan selanjutnya diberikan penanganan seperti apa hingga tidak sempat menyiapkan pemberkasan maupun syuting video berbagi praktik pembelajaran. Saya juga biasa mengecek kategori video pembelajaran atau praktik baik yang mana biasanya diinstruksikan untuk mencantumkan testimoni di akhir oleh peserta didik atau murid serta menampilkan kondisi ideal dalam kegiatan pembelajaran. Hal tersebut memantik pertanyaan di benak saya, yaitu apakah testimoni ketika dilakukan perekaman ini murni dari dalam diri para peserta didik atau siswa? Bahkan kegiatan pembelajaran ideal tersebut apakah benar-benar nyata dilakukan atau hanya saat direkam saja sehingga tampak ideal? Bagaimana dengan kondisi kelas-kelas lain yang bisa menghasilkan kualitas ideal pembelajaran karena gurunya benar-benar fokus mempersiapkan diri, namun tidak sempat untuk mendokumentasikan kegiatannya sehingga tidak sempat mengumpulkan video praktik baik? Apakah guru tersebut tidak termasuk guru inovatif, guru berdedikasi, atau salah satu guru terbaik?
Dari sini saya mencoba mengambil beberapa kesimpulan, seperti pemerintah berniat baik ingin memberikan apresiasi atau penghargaan kepada para guru yang punya inovasi hingga prestasi. Namun keterbatasan waktu bagi mereka untuk mencari guru hingga ke pelosok atau mengecek satu per satu sekolah membuat mereka mencari jalan paling cepat untuk mengadakan kegiatan tersebut dengan jalan seleksi melalui pengumpulan berkas dan video atau sejenisnya. Lalu saya masih beranggapan bahwa kegiatan tersebut haruslah tampak seremonial, megah dan mewah untuk memperlihatkan bahwa "ini lho pemerintah memberikan apresiasi dan motivasi kepada insan-insan pendidikan yang memang berprestasi dan berdedikasi." Cocoklah jika kesimpulan pertama saya disandingkan dengan dugaan saya mengenai image atau branding tersebut. Semoga tidak sepenuhnya benar.
Selanjutnya mengenai anggaran untuk mengadakan kegiatan tersebut yang biasanya terkesan besar dan mewah, saya ingin mencoba menyelami pemikiran para pemangku kebijakan di atas. Di saat infrastruktur pendidikan belum merata di mana kemajuan teknologi pendidikan hanya dirasakan oleh sekolah di wilayah perkotaan saja dan beberapa daerah kondisi sekolahnya memprihatinkan. Di saat gaji guru begitu timpang ketika kita masukkan ke dalam golongan-golongan. Pemerintah melalui dinas membuat kebijakan apresiasi guru dengan dana mewah hanya untuk beberapa orang dan sekolah tertentu saja. Apa biayanya tidak dialihkan saja ke pemerataan akses pendidikan maupun anggaran untuk gaji guru yang lebih layak? Jika jawabannya adalah "lho semua itu ada anggarannya pak. Anggaran untuk perbaikan infrastruktur sekolah serta tunjangan guru supaya gajinya lebih layak sudah kami laksanakan. Anggaran untuk kegiatan apresiasi guru di hotel ini juga ada", maka saya akan mengajukan pertanyaan lagi. Jika memang anggaran untuk perbaikan sekolah agar kemajuan pendidikan lebih merata, mengapa masih terdapat konten yang menampakkan timpangnya sekolah di daerah dengan di kota, atau bahkan banyak guru yang masih mengeluh mengenai gajinya, terutama guru honorer? Apakah anggarannya sudah benar-benar dihitung matang-matang atau besarannya masih kurang untuk pembangunan sekolah dan kesejahteraan guru?
Saya coba bayangkan saja kegiatan di hotel dengan anggaran yang mewah semisal dialihkan ke pengadaan genset di sekolah yang tidak ada akses listrik, atau pengadaan bangku sekolah. Maka lebih banyak infrastruktur sekolah yang dapat ditingkatkan kualitasnya dibanding hanya apresiasi untuk 3 sekolah yang mendapatkan predikat juara. Atau semisal jika kita coba bertanya lagi, apakah penghargaan-penghargaan yang diberikan oleh kementerian atau dinas tersebut benar-benar menjadi inspirasi bagi guru lain atau sekolah lain secara kinerjanya? Atau nantinya guru dan sekolah lain hanya berlomba-lomba untuk memoles diri agar "tampak bagus" di depan dan terutama jika pelaporan dalam bentuk video atau dokumen, namun mengabaikan realita yang terjadi di lapangan? Maka dari itu, diskusi ini saya rasa perlu untuk ditambahkan dari sudut pandang lainnya.
Semoga saja ada pemikiran-pemikiran yang dapat membantu mewujudkan pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Salam pendidikan.
(Santoso, 2024)
Komentar
Posting Komentar