Beberapa waktu yang lalu, ada info lomba yang diadakan oleh dinas pendidikan, yaitu pemilihan guru, kepala sekolah, hingga sekolah berprestasi. Salah seorang rekan guru saya sudah mengikuti event sejenis terlebih dahulu dan berhasil meraih juara 3 guru berprestasi tingkat kota. Guru tersebut kebetulan seangkatan dengan saya ketika dipanggil program pendidikan profesi guru di tahun 2022. Karena saya dianggap selevel dengan guru juara tersebut, maka rekan-rekan kerja saya pun mendorong saya agar mengikuti lomba guru berprestasi ketika eventnya datang. Kalau kepala sekolah jelas juga memberikan arahan untuk ikut. Waktu berlalu, saya sudah mendaftar dan tinggal melengkapi berkas untuk maju seleksi ke babak selanjutnya. Selama masa tersebut, ternyata di sekolah sedang sibuk workshop dan adaptasi dengan murid di tahun ajaran baru. Waktu saya banyak saya habiskan dengan murid karena kebetulan saya juga menjadi wali kelas anak baru. Saya juga mengolah bahan ajar agar lebih enak digunakan.
Untuk saat ini saya tidak tergiur dengan kegiatan lomba guru berprestasi dengan mengadu hal-hal yang menjadi bahan seleksi tadi. Mungkin pemikiran banyak orang adalah, lumayan lho, peluangnya besar. Kan kemarin guru yang barengan PPG sama Pak Dino aja bisa dapat juara 3, apalagi hadiahnya uang tunai yang nominalnya lumayan besar. Kan keren tuh Pak Aldino dapat juara guru berprestasi. Cuma itu yang di pikirkan orang-orang. Sedangkan pikiran saya gak mengarah ke situ. Iya, ini terdengar memang seolah-olah saya ini "emang gak butuh uang yang banyak, kebetulan di depan mata, tinggal nyiapin ini itu saja." eits, tunggu. Tidak begitu. Saya butuh uang, tapi saya yakin rejeki sudah diatur. Jadi ketika saya ditakdirkan sibuk sampai tidak sempat mengurus untuk lomba ini, berarti secara langsung maupun tidak langsung alam sadar dan bawah sadar saya tidak memprioritaskan hal tersebut.
Secara pemikiran saya, ikut lomba guru berprestasi bukan prioritas, karena nyatanya selama masa persiapan lomba, saya lebih banyak berinteraksi dengan murid, sampai malam karena kebiasaan saya membangun ikatan (bonding) dengan anak-anak supaya pembelajaran di kelas bisa jadi relate dengan alam emosional murid juga. Di situlah saya banyak menghabiskan waktu sehingga tidak sempat mengurus berkas lomba. Sampai hari ini saya tidak menyesal kok melewatkan peluang melangkah jauh di lomba tersebut. Saat ini prioritas saya masih mengajar dan mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya. Bagaimana membawakan pelajaran dengan cara sebaik-baiknya menggunakan media, teknik, metode ajar yang menyenangkan, mudah dipahami, bahkan sampai anak-anak merasa belajar bukan lagi beban.
Saya lebih tertarik dan mendapatkan kepuasan batin melihat anak-anak sangat antusias dalam mengerjakan tugas yang saya berikan karena tugas tersebut sudah saya pikirkan matang-matang bentuknya, keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari murid (kontekstual), tingkat kesulitannya, sampai medianya. Saya banyak menghabiskan waktu mencari referensi dan ide-ide gaya pembelajaran yang membuat anak-anak tertarik dan menyukai belajar, dibanding menyiapkan berkas-berkas administrasi lomba. Hasilnya alhamdulillah perlahan dapat saya nikmati melihat anak-anak sangat antusias ingin maju melafalkan dialog bahasa Inggris kesukaannya. Setidaknya itu yang sudah terlihat akhir-akhir ini. Bahasa Inggris yang biasanya terkesan sesuatu yang susah, rumit, dan belum tau esensinya menjadi tantangan bagi saya untuk mengemas pembelajaran tersebut dengan gaya menyenangkan khas saya. Begitu pula dalam pembelajaran PPKn, saya coba kaitkan dengan situasi terkini negeri ini sehingga murid tidak lagi menganggap konsep-konsep yang diajarkan itu abstrak dan hanya sekedar hapalan. Hal tersebut membutuhkan banyak waktu bagi guru untuk memoles kemampuannya.
Jadilah sekarang saya perlahan melihat senyuman anak-anak ketika belajar bahasa Inggris maupun PPKn bareng, karena saya mendesain pembelajarannya baik-baik. Dan menurut saya itu sangat-sangat berharga, menjadi kepuasan batin yang bernilai tinggi, bisa jadi nilainya melebihi nominal hadiah maupun label guru berprestasi itu sendiri. Inilah sudut pandang saya, orang bisa berlainan pendapat kok. Cuma saya sedang tidak berfokus pada label guru berprestasi maupun nominal ya. Fokus pada kepuasan batin.
Komentar
Posting Komentar