Wanita Bisa Menunggu Laki-lakinya Berproses / Wanita Tidak Selalu Memilih Laki-laki yang Sudah Mapan
Pada Hari Minggu yang lalu, aku menonton film Indonesia berjudul Toko Barang Mantan. Setelah menonton filmnya, aku jadi ingin menuliskan review mengenai film tersebut yang terkait dengan kisah yang ada di sekitar. Jadi di film tersebut, menceritakan laki-laki, yaitu Tristan yang membuka usaha jual beli barang bekas peninggalan mantan pacar/kekasih dengan cuplikan sejarah yang menyertainya. Usaha tersebut dibuka oleh laki-laki tersebut dengan terpontang-panting dengan mengorbankan masa akhir kuliahnya hingga mengalami kesulitan untuk membayar uang sewanya. Suatu ketika, datanglah mantan pacar si Tristan, yaitu Laras yang membuat perasaannya bergejolak parah. Kedatangan mantan tersebut ternyata ingin memberikan undangan pernikahannya kepada Tristan setelah agak lama bercuap-cuap, kembali bersenda gurau.
Tentu hal ini menjadi hal yang mengobrak-abrik perasaan Tristan. Seolah-olah sudah move on dari perasaan lamanya terhadap Laras, namun dia mengalami kegalauan. Ternyata beberapa hari setelahnya, Laras kembali mendatangi toko Tristan dan membuat kejutan berupa ia ingin menjual cincin tunangannya dan menyatakan bahwa pernikahannya batal karena ada berbagai alasan. Layaknya angin segar bagi Tristan untuk kembali menyemai benih cintanya. Tristan menjadi semangat untuk membuktikan bahwa cintanya masih layak untuk diperjuangkan. Tristan kembali merajut perasaannya dengan menumbuhkan kembali nostalgia masa-masa indah ketika Tristan dan Laras masih bersama.
Singkat cerita, hubungan keduanya kembali menghangat, lalu terkesan menjadi terlalu panas karena ego yang tinggi dan kesalahpahaman dalam memahami perasaan. Hal yang sepertinya lumrah terjadi pada hubungan antara wanita dan laki-laki. Namun, saya menangkap poinnya yaitu, ini si Laras, mengapa harus repot-repot mendatangi mantannya ketika masa persiapan pernikahannya? Dan juga menyempatkan diri ngobrol panjang lebar. Hal tersebut sangat riskan karena bagaimanapun perasaan biasanya bisa tumbuh karena seringnya berinteraksi. Tapi apapun alasannya, mungkin memang begitu yang biasa terjadi. Karena di penutup film ini, Tristan ternyata berpelukan dengan Laras, seolah-olah keduanya ternyata memenangkan percintaan tersebut.
Padahal aku udah mengira bahwa cinta Tristan pupus dan ia harus merelakan Laras bersama dengan pasangannya yang secara tampilan lebih mapan, entah secara ekonomi maupun kematangan dalam emosi. Karena sebelum adegan penutup tersebut, tampak tingkah laku Tristan yang sudah berdamai dengan perasaannya dan fokus memperbaiki hidupnya seperti melanjutkan skripsinya. Ditunjukkan pula adegan Tristan melihat Laras makan bersama tunangannya dengan raut wajahnya. Ada pula adegan Tristan curhat kepada emak penjual minuman yang mengarahkan agar Tristan move on karena masih banyak wanita lainnya. Ternyata tanda-tanda adegan itu tidak sesuai dengan adegan penutup.
Nah, di sini aku teringat kisah percintaan yang terjadi di sekitarku. Kisah cinta itu adalah milik teman kuliahku di biologi. Dia wanita dari Tuban yang saat masa kuliah menjalin hubungan cinta dengan teman seangkatan beda jurusan. Teman wanitaku itu berpacaran dengan anak jurusan Ilmu dan Teknologi Lingkungan (ITL). Nah, masa pacaran mereka terbilang cukup lama karena sepertinya dari masa awal kuliah sampai akhir kuliah, aku agak lupa pastinya. Tapi bisa dianggap lama lah yaa. Nah, pas udah masuk masa kelulusan, sepertinya mereka masih bersama. Namun, ternyata keduanya kini sudah memiliki pasangan masing-masing.
Suatu ketika, aku iseng menanyakan kepada teman wanitaku tadi mengenai hubungannya. Apa dia lebih memilih sosok suaminya sekarang yang bisa jadi lebih mapan karena sudah mendapatkan pekerjaan duluan dibanding pacarnya semasa kuliah dulu? Sehingga logika bahwa banyak wanita memilih laki-laki yang lebih mapan karena dapat memberi kepastian dapat masuk. Ternyata, dia menceritakan bahwa ada momen di mana dia lebih memilih bersama dengan pacarnya semasa kuliah tersebut dan rela menunggunya agar memantaskan diri atau dalam artian si wanita mau-mau saja menunggu si laki-laki berproses agar bertahap menuju tahap menjadi mapan. Kandasnya kisah mereka bukan karena wanita lebih memilih sosok laki-laki yang lebih mapan ketika dihadapkan pada dua pilihan. Namun ternyata masalahnya adalah ketika si wanita sudah mau membersamai laki-laki dalam berproses, si laki-laki tampak bingung tak menentu dan berada pada tahap ketidakjelasan. Nah, ketidakjelasan tersebut terus menumpuk sehingga menimbulkan masalah yang semakin membesar dan menyebabkan si wanita lebih memilih yang jelas dan memberi kepastian.
Artinya, wanita memilih bukan karena sosok yang lebih mapan yang muncul untuk datang ketika dihadaopkan pada dua pilihan laki-laki (ketika satunya dianggap kurang mapan). Namun, wanita bisa menunggu sosok laki-lakinya untuk berproses asalkan jelas saja ada targetnya, ada rentang waktunya, dan bisa diusahakan bersama apa saja yang bisa diusahakan. Namun, ketika ketidakjelasan terjadi, di situlah instring wanita untuk gundah gulana karena sosok imam atau pemimpinnya ketika berumahtangga nanti kok begini, lha kok gak jelas gitu. Akhirnya sosok lebih pasti yang lebih dipilih.
Kini, kisah hidup teman jurusanku tersebut sudah bahagia, begitu pula mantan pacarnya juga sudah berkeluarga. Tinggal penulis kisah ini yang belum. Eh sepertinya juga kisah yang ditulis ini kayaknya relate sama yang nulis. Ada sih suatu masa mirip banget seperti tulisan di atas sehingga data bahwa wanita mau menunggu laki-laki berproses menjadi punya 2 pembuktian. Lebih bisa dianggap valid jika seperti ini kan? Setelah ini boleh lah tanya ke pembaca, terutama kaum wanita.
Apa iya tulisanku ini mewakili bagaimana mayoritas wanita yaa? Jadi gimana, kalian mau menunggu laki-laki yang saat ini bersama kalian untuk berproses walau ternyata yang lebih mapan datang melamar? Mungkin semua ada kelebihan dan kekurangannya, namun ada satu faktor percintaan yang bisa jadi sains pun sulit menjelaskannya, yaitu ini semua tentang perasaan. Dan wanita paling jago bermain di area perasaan yang bisa jadi jawabannya sulit ditebak dan penjelasannya bisa per kasus, atau bermacam-macam contoh lagi sehingga contoh satu bisa jadi tidak relevan dengan contoh lainnya.
Ahh entahlah, masalah perasaan. Tapi tidak apa. Setidaknya tulisan ini bisa membuka wawasan. Mungkin saja.
-Sekian-
Komentar
Posting Komentar