Malam
peringatan 12 tahun Munir melawan lupa kali ini begitu spesial. Yaa, setidaknya
bagi saya yang kali ini berkesempatan untuk turut serta menghadiri salah satu
rangkaian acaranya di kota saya sendiri yaitu di Surabaya. Malam itu yaitu
Sabtu, 10 September 2016 menjadi hari yang cukup bersejarah bagi saya. Mungkin disebabkan
karena di hari tersebut saya tuliskan momennya dalam tulisan ini, bisa pula
mengenai momen yang terjadi itu sendiri. Saat ini saya merupakan mahasiswa
tingkat akhir yang sedang berjuang untuk segera lulus. Dan di hari itu saya
mendapatkan suatu hal berharga yang belum pernah saya dapatkan. Pengalaman itu
setelah saya menonton film-film yang mengisahkan sepak terjang almarhum Munir
yang merupakan sosok pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah kesohor dengan
memperjuangkan banyak kasus orang-orang yang tertindas karena sistem negara
maupun kesewenang-wenangan penguasa. Sebenarnya saya mendatangi acara ini
memang karena hobi saya yang suka menonton film. Tetapi setelah menonton beberapa
film yang berkisah seputar kehidupan Munir tersebut, dilanjutkan dengan diskusi
dengan beberapa orang yang merupakan perwakilan dari Komisi untuk Orang dan
Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya dan juga beberapa teman Munir selama
masih hidup, saya menjadi mendapatkan suatu wawasan baru mengenai perjuangan
pergerakan dan perlawanan dalam memperjuangkan hak sebagai manusia. Sejujurnya
keterangan lengkap mengenai acara pemutaran film dan diskusi Malam Menyimak
Munir Pekan Merawat Ingatan ini dapat dilihat melalui siaran pers resminya di
halaman resmi Kontras Surabaya yaitu di tautan http://kontrassurabaya.org/siaran-pers/malam-menyimak-munir-merawat-ingatan/
.
![]() |
Suasana Diskusi pasca pemutaran film Malam Menyimak Muni di Galeri Kesenian Surabaya. Foto Dokumentasi oleh: Anandhika. |
Namun
tulisan ini mungkin bisa jadi pelengkap maupun tulisan dengan gaya bebas yang
semoga saja bisa dinikmati oleh banyak kalangan untuk wawasan sendiri karena
dalam tulisan ini sebenarnya banyak berisi dari sudut pandang saya maupun
interpretasi pribadi saya yang sudah dicampuri oleh beragam hal selama ini.
Oke, bisa dimulai saja dari sini. Negeri ini memang penuh dengan berbagai
masalah yang sepertinya juga masih banyak yang belum terselesaikan, termasuk
menyangkut masalah Hak Asasi Manusia yang telah terjadi beberapa kali
pelanggaran. Sudah 12 tahun lamanya kasus Munir belum benar-benar menemukan
titik terang yang merujuk kepada dalang dibalik pelaku pembunuhan keji
tersebut. Dari beberapa film yang diputar tersebut, dapat disimak kisah
perjalanan hidup Munir selama masih kecil hingga akhir hayatnya yang sangat
tragis. Lalu terdapat pula kisah setelah wafatnya beliau dengan penyelidikan
kasus-kasus tersebut yang tidak pula berujung dengan hasil yang benar-benar
diinginkan oleh pihak keluarga Munir. Beberapa orang pernah menjadi tersangka
kasus tersebut, namun dari kisah yang selama ini tertuang di media, kasus
tersebut belum benar-benar selesai karena yang tertangkap hanyalah orang-orang
suruhan yang mungkin hanya menjalankan perintah. Mungkin saja begitu, mungkin
saja tidak. Karena saat ini hanya ada dugaan-dugaan meskipun perjuangan
pencarian bukti tersebut masihlah terus berjalan. Dalam kasus tersebut juga
terdapat suatu bentuk penolakan dari pemerintah dalam hal ini Komisi Informasi
Pusat untuk segera membuka hasil dari temuan Tim Pencari Fakta dalam kasus
Munir ini. Salah satu hal tragis yang saya amati dari adegan film tersebut
adalah penolakan pemerintah untuk membuat tim investigasi kasus Munir pada
waktu itu, yaitu pada pemerintahan periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
dimana pada awalnya pihak pemerintah sangat mendukung untuk mengusut tuntas
kasus tersebut. Sampai-sampai dalam film ditunjukkan potongan-potongan berita
di koran yang menunjukkan beberapa gejolak pada pemerintahan dalam ranga
pengusutan kasus Munir ini. Terdapat pernyataan dari istri Munir yaitu Ibu
Suciwati yang menyatakan bahwa tangisan pemerintah untuk kematian Munir
dianggap palsu. Suatu hal yang cukup mencengangkan bagi saya. Ditambah lagi
pada saat terjadinya diskusi pasca pemutaran film-film, beberapa keterangan
mengenai film dapat dikulik langsung dan dibicarakan bersama.
Beberapa
poin-poin penting yang terekam dalam diskusi ini adalah penceritaan langsung
dari teman atau sahabat Munir selama hidup yang mana Munir sangat setia dalam
pendampingan beberapa korban tindak kekerasan terhadap kaum buruh maupun
kaum-kaum tertindas lainnya. Dan beberapa hal yang dibagikan Munir adalah
menularkan semangat untuk menulis apa-apa yang dialami oleh kaum-kaum buruh
tersebut karena bentuk-bentuk karya literasi tersebut dapat mendukung apa yang
selama ini mereka perjuangkan. Dalam hal ini terdapat suatu bentuk wejangan
kepada kaum-kaum yang memperjuangkan hak-haknya, bahwa mereka harus terlebih
dahulu mengetahui apa-apa yang perlu diperjuangkan, apa yang menjadi
hak-haknya, dan bagaimana aturan-aturan yang beriringan dengan apa yang
mengelilingi hidup mereka. Mereka harus mempelajari betul apa-apa saja aturan
yang ada, karena jangan sampai perjuangan mereka berhenti di tengah-tengah atau
kandas hanya karena kurang pahamnya mereka terhadap suatu hal yang mereka
perjuangkan sendiri. Hal ini dituturkan dengan baik dan diajarkan dengan
sedikit demi sedikit membuat tulisan-tulisan supaya dapat dibaca orang lain dan
dapat menjadi sumber-sumber informasi yang bermanfaat. Yaa.. setelah itu saya
juga rupanya tergerak untuk menulis sendiri apa-apa yang saya terima di acara ini
melalui tulisan gaya bebas nan abstrak ini.
Oke,
lanjut lagi, terdapat salah satu adegan yang unik dalam film yang berjudul “Tuti:
a Brave Woman”. Dalam film tersebut terdapat adegan topeng monyet yang
beriringan dengan beberapa tersangka yang terdapat di pengadilan dalam kasus
hilangnya orang-orang pada saat kejadian besar runtuhnya orde baru atau awal
reformasi. Sontak ketika menontonnya, saya mulai beranggapan agak aneh dengan
adanya adegan tersebut, lalu teman di sebelah saya (yaitu Anandhika) langsung
menangkap adegan topeng monyet tersebut sebagai perlambangan dari adanya sosok
yang menonjol yang mana sosok tersebut sebenarnya merupakan sosok yang “disetir”
atau dikendalikan oleh sosok yang lain yang lebih kuat. Hal tersebut mungkin
saja benar, mungkin bisa juga tidak yang mengarah pada beberapa perwira tinggi
negeri ini yang dicopot jabatannya karena terjerat hukuman kasus kemanusiaan
pada waktu itu. Satu hal lagi yang menjadi poin perhatian saya mengenai film
Munir kalau tidak salah dengan judul “Bunga Dibakar” yaitu pada medio akhir
1990-an atau awal 2000-an Munir beberapa kali diminta untuk mengisi materi
kuliah umum tentang kenegaraan atau Hak Asasi Manusia di bidang kepolisian atau
militer, atau kalau tidak salah di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Dari situ sebenarnya saya melihat adanya hubungan antara Munir dengan
pihak-pihak yang mungkin secara kasat mata dianggap bertentangan karena sejarah
dari tahun-tahun terakhir masa orde baru, Munir banyak menentang
kesewenang-wenangan penguasa yang bisa juga diwakili dengan armada kuatnya.
Nah, saya mungkin tertarik untuk mengupas hubungan antara kepolisian atau
militer pada masa Munir mengisi materi-materi perkuliahan disana. Apa tidak ada
rasa ketegangan pada saat perkuliahan begitu yaa.. yang mana dalam hal ini
mahasiswa kepolisian yang menjadi penyimak kuliah harusnya juga belajar sejarah
terlebih dahulu yang tahu tentang Munir, atau bisa saja tidak mesti soalnya
saya juga kurang informasi juga tentang ini. Atau bagaimana hubungan
petinggi-petinggi kepolisian dengan Munir pada waktu itu.
Ahh..
malam semakin menjelang waktu itu, namun forum diskusi pada waktu itu masih
membara yang mana partisipan yang datang sepertinya juga masih semangat dengan
sisa-sisa tenaga pada malam minggu yang lebih digunakan untuk mendatangi acara
ini di tengah gemerlapnya acara-acara lain di kota metropolitan Surabaya ini.
Di akhir sesi diskusi pun terdapat suatu pernyataan dari rekan Munir yang maju
menjadi pembicara dan katanya pernah menjadi salah satu anggota wakil rakyat
yang memekikkan semangat untuk segera menuntaskan kasus Munir ini yang sontak
disetujui oleh hadirin yang memadati Galeri Kesenian Surabaya. Lepas dari
acara, saya juga tidak langsung pulang, karena jujur saya sangat tertarik
dengan kegiatan yang dilakukan oleh Kontras ini. Hal ini juga dipicu oleh
kenalnya saya dengan salah satu anggota kontras Surabaya yang merupakan
(hampir) rekan kelompok KKN bersama Unair tahun 2015 lalu, yaitu Mayka. Kenapa
yaa saya bisa tertarik. Ya memang saya jujur saya memiliki ketertarikan
terhadap banyak hal, mulai sains ilmiah, ilmu sosial, hubungan masyarakat,
film, seni, dll. Nah disini saya melakukan diskusi banyak hal dengan teman saya
tersebut. Mulai kegiatan yang dilakukan di kontras sampai pada permasalahan
kemanusiaan saat ini yang dengan hebatnya langsung merasuk ke dalam perasaan
saya yang mungkin banyak dibilang beberapa cewek merasa kurang peka. Ahh sudahlah..
dari sana saya mulai melihat bahwa saya sebagai kaum mahasiswa dan melihat
beberapa lingkungan sekitar saya yang kebanyakan mungkin berjuang meraih apa
yang dicita-citakannya (cita-cita pribadi), namun disini saya melihat ada
beberapa orang yang sudah berani memperjuangkan kaum yang tertindas, bahkan
lebih jauh lagi lawan yang dihadapi merupakan sesuatu hal.. yang bisa saja
sangat tidak mungkin untuk dikalahkan, padahal apa yang diperjuangkan oleh kaum
yang tertindas tersebut merupakan hak-haknya, hak asasinya.
Yaa
begitulah potret yang terjadi. Potret kelam tragedi kemanusiaan yang banyak
luput oleh penglihatan publik di era gemerlapnya teknologi informasi yang
merajalela seperti ini. Beberapa kasus yang pernah diikuti oleh teman saya
yaitu adalah kasus Salim Kancil di Lumajang yang memperjuangkan apa yang
menjadi haknya akhirnya tragis. Teman saya mendampingi advokasi sampai di
Pengadilan Negeri Surabaya, yang mana beberapa waktu saat di pengadilan juga
bersamaan dengan sidang kasus gugatan nama PT Persebaya Indonesia (hal ini juga
salah satu perjuangan dari klub kebanggan kota saya, Surabaya). Hal yang cukup
mengena di hati saya yaitu masih adanya ulah penguasa daerah yang dengan
sewenang-wenang melakukan praktik intimidasi terhadap rakyat kecil agar
memuluskan rencana besarnya yang bertentangan dengan apa yang dikehendaki
rakyatnya (padahal mereka terpilih oleh siapa? Rakyat kan yaa.. eaaa..). Oke
beberapa diskus tersebut memang topiknya berat yaa.. maksudnya serius jika
dilihat lebih jauh. Sampai-sampai pada saat pulang ke rumah saya kembali
berdiskusi dengan ibu saya yang lulusan Fakultas Hukum Unair mengenai Munir dan
apa-apa saja perjuangannya pada masa itu. Okee.. malam yang cukup menarik,
menggugah kesadaran batiniah. Di penghujung semester tua kuliahku ini, saya
mendapatkan pengalaman yang menarik. Dari sini saya mendapatkan informasi dan
pengalaman yang berguna bagi pengembangan diri saya. Next project film? Documentary
film? Eeaaa.. maybe.. bisa saja jika mungkin terjadi. Satu hal yang menjadi
semangat kawan-kawan pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) dan relawan-relawannya
maupun suporter-suporternya yaitu semangat perjuangan Munir yang haruslah terus
berkobar dan tak pernah padam.
NB: ini hanya tulisan
bebas berdasarkan pemikiran dan interpretasi penulis. Beberapa koreksi mungkin
diperlukan untuk lebih indahnya tulisan dan mungkin juga berbagai fakta yang
lebih teruji dan terbukti.
Komentar
Posting Komentar